Minggu, 16 September 2012

Membincang Lupa, Benar, Hermeneutika dan Mitos dalam Filsafat


Pembahasan filsafat mencakup segala hal yang ada dan mungkin ada. Lupa juga dapat di bahas dalam sudut pandang filsafat. Dalam filsafat segala objek berdimensi, demikian juga dengan lupa. Lupa memiliki dimensi ruang dan dimensi waktu. Misalnya lupa tentang apa, lupa pada saat dimana, bagaimana lupa yang dialami atau kapan lupa itu terjadi. Ketika kita pernah mengalami hal-hal yang menyedihkan sehingga membuat kita trauma. Pada saat itu, kita ingin melupakan hal-hal yang menyedihkan tersebut, dan pada saat inilah kita bisa menyatakan itu sebagai manfaat lupa, yaitu untuk melupakan sesuatu yang menyedihkan atau sesuatu yang tidak kita sukai sehingga ingin dilupakan. Lupa adalah abstraksi, reduksi dan pilihan dibawah sadar yaitu suatu keadaan ketika kita memilih untuk tidak memperhatikan, tidak memikirkan sesuatu tanpa disadari. Pada dasarnya kodrat manusia melakukan reduksi, fokus memikirkan sesuatu. Sehingga, lupa itu adalah sebagian besar dari hidup dan diri kita, karena yang kita pikirkan hanya sedikit dari fenomena lain yang lebih banyak, tetapi tidak sedang kita pikirkan atau kita lupakan. Misalnya  ketika kita sekarang sedang belajar filsafat ilmu, pada saat itu pikiran kita hanya fokus mempelajari filsafat ilmu, sedangkan ilmu-ilmu yang lain misalnya matematika, untuk sementara kita lupakan dan begitu pula sebaliknya. Sehingga ada sepasang kalimat , yang menggambarkan tentang lupa.
Orang yang tidak lupa adalah diriku yang sedang memikirkannnya.
Orang yang lupa adalah dirimu yang sedang tidak memikirkannnya.
Selanjutnya, kita akan membincangkan tentang benar. Dalam filsafat, benar itu berdimensi, bertingkat-tingkat dan bermacam-macam, seperti benar dalam penglihatan, benar dalam pemikiran, benar dalam pendengaran. Benar dalam penglihatan adalah ketika kita melihat fakta secara langsung, benar dalam pendengaran adalah ketika kita mendengar sendiri, benar dalam pemikiran adalah ketika tak melihat dan mendengar, tapi kita merasa yakin dengan pikiran kita. Dalam filsafat, ada benar absolut dan benar material. Benar absolut adalah benar yang pasti yang merupaklan kuasa dan milik Allah SWT, yang menyangkut ranah spiritual, sedangkan benar material adalah benar secara hukum alam atau hukum sebab akibat misalnya gelas yang jatuh ke lantai akan pecah. Kemudian, ketika kita menjawab suatu pertanyaan, benar dan salahnya jawaban kita bersifat relatif karena segala sesuatu dalam filsafat berdimensi. Sesuatu dikatakan salah atau benar tergantung dimensi ruang dan waktu, contohnya hari ini adalah hari senin, benar ketika diucapkan pada hari senin, kemudian ketika diucapkan pada waktu yang berbeda misalnya keesokan harinya, maka jawaban hari senin merupakan jawaban yang salah, karena keesokan harinya adalah hari selasa. Jawaban umum yang berlaku satu dan universal disebut monotheisme. Jawaban yang hanya satu itu diwujudkan dalam kebenaran spritualitas. Jawaban yang berlaku umum, semakin universal jawabannya maka semakin absolut jawabannya dan menyangkut ke ranah Ketuhanan. Misalnya ketika seorang umat islam di tanyai mengenai berapa dan apa saja rukun islam, maka semuanya akan sama-sama menjawab rukun islam ada lima, yaitu Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan naik Haji bagi yang mampu. Sehingga ini merupakan jawaban yang sama, satu dan absolut. Sedangkan, kebenaran yang berkaitan dengan hal-hal duniawi, maka akan menjadi kebenaran yang bersifat relatif dan dapat berubah tergantung ruang dan waktu.
Dalam berfilsafat kita menggunakan metode Hermeunetika yang artinya terjemah dan menterjemahkan.  Hermeunetika tidak cukup hanya dipelajari tapi juga harus dlaksanakan. Intisarinya adalah menerjemahkan, menerjemahkan meliputi segala aspek, tidak cukup dengan hanya memikirkannya, tapi juga dengan melihat, mengatakan, menuliskan, dan mengamalkannya. Kemudian dalam filsafat islam, dinyatakan untuk menggapai sesuatu yang bersifat spiritual, tidak hanya dengan memikirkannya tapi juga mengamalkannya, misalnya ibadah-ibadah tidak hanya dipelajari tata caranya, tapi juga diamalkan dengan sungguh-sungguh. Ketika kita membaca, menulis dan bertanya, hal ini termasuk dalam bagian dari metode terjemah dan menerjemahkan.
            Dalam mempelajari filsafat, filsafat yunani kuno sering menjadi acuan, karena filsafat ini masih memiliki dokumen sebagai bukti. Selain itu, secara substansif Yunani Kuno adalah bangsa yang pertama kali mengubah mitos menjadi Logos. Para pemikir yunani berusaha menjelaskan dan membuktikan mitos-mitos tersebut, sehingga mitos-mitos tersebut dapat terbantahkan dengan penjelasan ilmu pengetahuan. Mitos adalah segala sesuatu yang diketahui dan langsung diterima saja karena dianggap sudah jelas tanpa dipikirkan atau dijelaskan lebih dahulu. Misalnya pada zaman dahulu bangsa yunani kuno mempercayai bahwa pelangi adalah jembatan para bidadari yang turun ke bumi, kemudian para pemikir Yunani kuno berusaha untuk memberikan penjelasan dengan pembuktian bahwa pelangi adalah hasil dari pemantulan cahaya. Mitos merupakan musuh besar filsafat, karena dengan mengetahui sesuatu sebagai mitos, manusia menjadi tidak mau lagi untuk berfikir dan menjelaskannya berdasarkan ilmu pengetahuan. Tetapi, tak semua mitos itu jelek, misalnya hal-hal yang baru diketahui anak-anak. bayi atau anak-anak yang sedang makan itu mengunakan mitos, karena mereka makan itu tanpa mengetahui atau dijelaskan terlebih dahulu pengertian makan, mengapa harus makan dan sebagainya. Selain itu, Hermeneutika itu meliputi kebijaksanaan. Tapi, tidak ada orang yang bijak, menganggap dirinya bijaksana, seseorang dikatakan filsuf, bukan karena dia yang mengakui dirinya sendiri, tapi karena orang lain yang  mengetahui karya-karyanya dan membicarakannya dalam masyarakat. Kalau kita yang mengakui sendiri, berarti kita tak akan mau lagi untuk mengguanakan akal pikiran kita untuk terus memahami  filsafat tetapi sudah terjebak mitos yang menyesatkan.
Dalam perjalananya, tidak semua masalah di dunia dapat diselesaikan dengan memahami filsafat. Hal ini dapat dianalogikan sebagai berikut, kita tak mampu memikirkan atau bertanya mengenai segala hal yang tidak kita ketahui, begitu pula dengan filsafat. filsafat tak mampu menjelaskan segala persoalan. Manusia itu kecil, kita menggunakan filsafat adalah  sebagai sarana untuk melatih pola fikir sesuai konteks ruang dan waktu yang mencakup segala yang ada dan mungkin  ada. Berfilsafat itu salah satu cara kita untuk berikhtiar agar kita tahu bagaimana diri kita sendiri. Filsafat itu berkembang dengan sndirinya, tak ada yang mempengaruhinya. Filsafat tak hanya filsafat di dunia, tapi juga di akhirat, filsafat akhirat adalah ketika kita memikirkan seuatu yang berkaitan dengan ibadah, supaya benar harus bersandar pada Qur’an dan sunnah. Selain itu, perlu juga untuk diingat, filsafat tak hanya membawa seseorang ke arah kemajuan, tetapi juga dapat membawa orang ke arah kemunduran atau hal-hal yang buruk. Contohnya Paham komunisme dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dulu pernah  ada di Indonesia. Pada saat itu PKI ingin menjadikan Negara Indonesia beridiologi komunis, sehingga ia banyak membunuh para Jendral dan orang-orang yang dianggap menghalangi niatnya tersebut. Kemudian, PKI berhasil dibubarkan oleh pemerintah.  Untuk itu, berhati-hatilah dalam berfilsafat dan menggunakan kuasa yang kita miliki, karena apabila salah menggunakan kuasa akan dapat membawa kita ke arah kemunduran.


Refleksi Mata Kuliah Filsafat Ilmu 10 september 2012
Rahmatya Nurmeidina
12709251038 PM-A 2012

..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar