Sabtu, 19 Januari 2013

Filsafat dalam Pembelajaran Matematika



Perkuliahan filsafat telah berakhir hari ini, namun pada hakikatnya berfilsafat dan memahami dunia sekeliling dengan hermeneutika, tidak berakhir sampai di sini. Banyak ilmu yang telah di dapat selama satu semester ini. Harapannya ilmu-ilmu yang diperoleh itu dapat diimplemetasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia pendidikan, khususnya pendidikan matematika, hendaknya kita dapat mengamalkan dan menerapkan filsafat dalam pembelajaran matematika. Berikut diuraikan tentang filsfat dalam pembelajaran matematika.
Filsafat meliputi segala hal yang ada dan mungkin ada, oleh karena itu segala yang ada tentu dapat dikaitkan dengan filsafat. Termasuk pendidikan (pembelajaran) matematika. Filsafat dan pendidikan merupakan dua ilmu yang tak bisa terpisahkan. Berkecimpung di dunia pendidikan, tanpa mempelajari filsafat merupakan sesuatu yang timpang dan tak harmoni.
Seoarang Filsuf, Imanuel Kant menyatakan bahwa 'matematika akan menjadi ilmu jika dia dibangun di atas intuisi ruang dan waktu', artinya matematika tidak bisa dikatan ilmu jika tidak dibangun di atas intuisi, 'matematika akan menjadi ilmu jika dia bersifat sintetik a priori', dalam sintetik apriori kita menggunakan akal budi dan pengalaman indrawi secara serentak. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan. Paul  ernes membuat peta pendidikan, yang terdiri dari lima dunia. Dunia Kaum Industrialis, Dunia Kaum Konservatif, Dunia Kaum Humanis, Dunia Kaum Progresif, Education is for All (pendidikan untuk semuanya).
            Dalam mendefinisikan setiap ilmu dapat dilatarbelakangi oleh lima dunia yang telah disebutkan diatas. Tiga dunia kaum yang pertama yaitu Kaum industrialis, Kaum konservatif dan Kaum humanis mendefinisikan matematika sebagai structure of knowledge, kebanyakan matematicians di dunia ini mengangap matematika bagian dari industri. Apabila kaum industrialis yang menguasai pendidikan, maka pendidikan hanya bertumpu pada Sesuatu yang keuntungannya terlihat nyata. Padahal pendidikan tidak bisa seperti itu, apabila itu terjadi maka intuisi dalam matematika akan hilang.Sehingga matematika diajarkan sebagai pengetahuan yang sarat dengan definisi-definisi tanpa mereka mengerti maknanya. Sehingga kadang tercipta stigma matematika itu kaku dan tidak bisa bersosialisasi. Sedangkan dunia yang keempat dan kelima, Kaum Progresif dan Education for All, mendefinisikan ilmu sebagai kegiatan, bahkan kegiatan sosial. Dengan seperti itu intuisi matematika pada siswa dapat berkembang dengan baik.
Berawal dari sinilah definisi matematika sekolah  yang dikemukakan oleh Ebbutt dan Straker (dalam marsigit 2012) :
(1) kegiatan matematika merupakan kegiatan penelusuran pola dan hubungan,
(2) kegiatan matematika memerlukan kreativitas, imajinasi, intuisi dan penemuan
(3) kegiatan dan hasil-hasil matematika perlu dikomunikasikan,
(4) kegiatan problem solving merupakan bagian dari kegiatan matematika,
(5) algoritma merupakan prosedur untuk memperoleh jawaban-jawaban persoalan matematika,
(6) interaksi sosial diperlukan dalam kegiatan matematika.
Dengan menerapakan Metode Filsafat yaitu hermeneutika (terjemah dan menterjemahkan) terhadap segala sesuatu membuat kita dapat menggapai harmoni dalam hidup. Hermeneutika dalam matematika matematik horizontal vertical. Hermeneutika matematika, terjemah dan menterjemahkan dalam matematika terangkum dalam 2 bagian, yaitu Horizontal Mathematics (matematisasi Horizzontal) dan Vertical Mathematics (matematisasi vertical).
Menurut Treffers Matematisasi horizontal adalah proses penyelesaian soal-soal kontekstual dari dunia nyata. Dalam matematika horizontal, siswa mencoba menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata dengan cara mereka sendiri. Matematisasi horizontal berarti bergerak dari dunia nyata kedalam dunia simbol dengan kata lain matematisasi horizontal meghasilkan konsep, prinsip, atau model matematika dari masalah kontekstual sehari-hari.  Sedangkan matematisasi vertikal adalah proses formalisasi konsep matematika. Dalam matematisasi vertikal, siswa mencoba menyusun prosedur umum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung tanpa bantuan konteks. Dengan kata lain menghasilkan konsep, prinsip, atau model matematika dari matematika sendiri termasuk matematika vertikal.
 Contohnya, untuk memperkenalkan angka 2, Misalnya, objek matematika material berupa “bilangan 2 yang terbuat dari papan triplek yang digergaji dan kemudian diberi warna yang indah”.  Di dalam khasanah matematika material, kita dapat memikirkan bilangan 2 yang lebih besar, bilangan 2 yang lebih kecil, bilangan 2 yang berwarna merah, bilangan 2 yang berwarna biru, dan seterusnya. Pada dimensi formal terdapat pencampuradukan antara pengertian bilangan dan angka. Tetapi, begitu kita memasuki dimensi matematika formal, semua sifat dari bilangan 2 tadi kita singkirkan, dan yang kita pikirkan sifat nilai nya saja dari 2.
Kita tidak mampu memikirkan nilai bilangan 2 jika kita tidak memiliki bilangan-bilangan yang lain. Nilai bilangan 2 adalah lebih besar dari bilangan 1, tetapi lebih kecil dari bilangan 3. Secara normatif, makna bilangan 2 mengalami ekstensi dan intensi.
Jika diintensifkan, bilangan 2 dapat bermakna “genap”, dapat bermakna “pasangan”, dapat bermakna “bukan ganjil”, dapat bermakna “ayah dan ibu”, atau dapat bermakna “bukan satu”. Secara metafisik, bilangan 2 dapat bermakna “jarak antara dua hal” misalnya jarak antara potensi dan vitalitas, jarak antara konkret dan abstrak, jarak antara subjek dan objek, dan seterusnya. Jika diekstensifkan, maka makna bilangan 2 dapat berupa 2 teori, 2 teorema, 2 sistem matematika, 2 variabel, 2 sistem persamaan, dan seterusnya. Dengan cara yang sama kita dapat melakukan intensi dan ekstensi untuk semua objek matematika.

Referensi
Marsigit. 2012. Peta pendidikan Paul Ernest.
Marsigit 2012. Artikel Populer. Pendidikan Karakter dalam pendidikan matematika.
Marsigit. 2012. Hermenetika Pembelajaran Matematika.
Refleksi perkuliahan filsafat oktober-desember 2012.
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2252013-realistic-mathematic-education-rme/#ixzz2Ecgq3Vx4

Senin, 14 Januari 2013

Menggapai Inovasi Pembelajaran dengan Teori Konstrutivisme

BAB I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Saat ini matematika masih dianggap beban dan momok yang menakutkan bagi para siswa. Terlebih lagi, matematika merupakan salah satu mata pelajaran penentu kelulusan Ujian Nasional, sehingga pembelajaran matematika di sekolah cenderung berorientasi pada soal-soal Ujian Nasional. Proses belajar dan pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru di sekolah selalu berkutat pada metode konvensional yang berpusat pada guru. Karena metode ini dianggap metode yang efisien waktu untuk mengejar target materi yang harus dicapai kurikulum. Definisi-definisi, rumus-rumus dan konsep-konsep langsung diberikan kepada siswa tanpa memberi kesempatan kepada siswa untuk mengkontruksi dan membangun sebuah konsep dalam pikirannya. Pembelajaran di kelas hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mandiri dengan menemukan dan membangun sendiri konsep matematika dengan terlibat aktif dalam pembelajaran.
Dalam Marsigit (2012) membangun pemahaman matematika melalui kemandirian dapat diartikan sebagai Achitectonic mathematics. Pada saat ini architectonic mathematics sudah mulai tampak pada perguruan tinggi melalui kegiatan riset matematika. Lalu, bagaimana menampakkan architectonic mathematics pada proses belajar matematika di sekolah? Karakter belajar matematika orang dewasa dan anak-anak berbeda, sehingga untuk mewujudkan hal ini tidaklah mudah. Kita harus melakukan transformasi fenomena antara belajar matematika bagi orang dewasa di perguruan tinggi  dan belajar matematika bagi anak-anak di sekolah. Transformasi yang dimaksud adalah Transformasi Internal dikarenakan Potensi Internal dalam kerangka kemandirian untuk mengembangkan Wadah atau Dimensinya agar mampu menyadari Ruang dan Waktu Matematika dan Pendidikan Matematika. Singkat kata maka Self Transformation dari setiap Subyek atau Pelaku belajar dan mengajar itulah yang diperlukan. Dengan kata lain, diperlukan keadaan pindah, atau hijrah atau inovasi bagi siapapun yang ingin mempelajari Matematika, pada segala dimensinya. Bagaimana mungkin seorang anak kecil melakukan pindah, atau hijrah atau inovasi? Hal demikian tidak akan dipahami kecuali kita memahami hakekat konstruktifisme.
Dalam teori konstruktifisme yang dikemukakan oleh Jean piaget, anak belajar secara bertahap sesuai dengan usianya. Sehingga apabila diaplikasikan dalam pembelajaran matematika, Guru akan memberikan penanaman konsep matematika secara bertahap tidak langsung mengarah kepada penjelasan definisi. Untuk itu guru perlu melakukan inovasi pembelajaran agar dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi secara mandiri konsep matematika yang sedang dipelajari.

B.     Identifikasi Masalah
Pembelajaran masih berpusat pada guru, sehingga siswa tidak memiliki kesempatan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan dalam pikirannya.

C.    Batasan Masalah
1.      Pembahasan dalam makalah ini menjelaskan tentang teori konstruktivisme oleh Jean Piaget dan Vygotsky serta keterkaitannya dengan hakikat matematika sekolah.
2.       Inovasi pembelajaran yang diperkenalkan adalah pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dan Coopertif Learning.
D.    Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Teori Konstruktivisme yang dikemukakan oleh Jean Piaget dan Vygotsky?
2.      Bagaimana keterkaitan antara Teori Konstruktivisme yang dikemukakan oleh Jean Piaget dan Vygotsky dengan inovasi pembelajaran?
3.      Bagaimana contoh penerapan Teori Konstruktivisme dalam inovasi pembelajaran?



BAB II. PEMBAHASAN
Sebelum membahas Teori konstruktifisme, terlebih dahulu kita mengetahui sejarah teroi konstruktifisme yaitu sebagai berikut. Teori Konstruktifisme apabila kita lihat dalam Filsafat Ilmu (Matematika) Marsigit (2012), merupakan fallibism-constructivism yang berasal dari filsuf yunani Kuno Aristoteles, selanjutnya Aristotelian melahirkan empiricism yang menyebutkan matematika merupakan pengalaman. Kemudian bersama dengan Kantianism dan intuisionism memunculkan fallibism. Fallibism terlahir dari pemikiran Lakatos yang menyatakan bahwa ilmu merupakan kesalahan; ilmu memungkinkan mengandung kesalahan. Setelah itu, dari Fallibism lahirlah analyticicm yang terinspirasi dari filsafat bahasa Wittgeinstein, dan akhirnya lahirlah fallibism-constructivism.
A.    Teori Kontruktivisme Kognitif Piaget
Dalam memahami Teori Konstruktifisme, sangat berkaitan dengan pemikiran tokoh-tokohnya yaitu Jean Piaget dan Vitgotsky. Menurut Bodner dalam Dahar (2011) tokoh konstrutivisme yang pertama adalah  piaget, Melalui perspektif piaget pengetahuan diperoleh menurut proses konstruksi selama hidup melaui suatu proses ekualibrasi antara skema pengetahuan dan pengalaman baru. Piaget lebih memfokuskan pada general logical capabilities. Merupaka konstrutivisme kognitif. Penelitian-penelitian piaget meliputi konstruksi pengetahuan personal melaui interaksi individual dengan lingkungan. Marsigit (2012) menjelaskan konsepsi Piaget bahwa perkembangan intelektual anak berlangsung melalui tahap terdefinisi, bahwa anak-anak mengem bangkan konsep mereka melalui interaksi dengan lingkungan, dan untuk sebagian besar tahun utama kebanyakan anak berada dalam tahap operasi konkrit. Selanjutnya, dia menyatakan bahwa dalam pendidikan matematika, itu adalah konsekuensi alamiah dari kepercayaan pada teori Piaget tentang peran sentral dari interaksi dengan benda-benda yang digunakan ketika mereka belajar matematika, anak-anak harus diharapkan untuk bekerja praktis, sendiri dengan alat mereka, dan bekerja konsep-konsep matematika untuk diri mereka sendiri. 
Santroks (2011) menyatakan bahwa proses kognitif yang terjadi pada anak-anak ketika mereka membangun pengetahuan mereka tentang dunia meurut Piaget adalah skema, similasi dan akomodasi, organisasi, serta ekuilibrasi.  Skema menyatakan bahwa ketika anak berusaha membangun pemahaman mengenai dunia, otak berkembang membentuk skema. Inilah tindakan atau representasi mental yang mengatur pengetahuan. Selanjutnya Asimilasi terjadi ketika anak-anak memasukkan informasi baru kedalam skema mereka yang sudah ada sebelumnya. Lalu Akomodasi terjadi ketika anak-anak menyesuaikan  skema mereka agar sesuai dengan informasi dan pengalkaman baru mereka.  Kemudian Organisasi dalam teori piaget  adalah pengelompokkan prilaku dan pikiran yang terisolasi ke dalam sebuah susunan system yang lebih tinggi. Perbaikan yang kontinu dari organisasi ini merupakan suatu sifat dari perkembangan. Ekuilibrasi adalah mekanisme yang diajukan Piaget untuk menjelaskan bagaimana anak-anak beralih dari satu tingkat pemikiran ke tingkat yang berikutnya. Peralihan ini terjadi ketika anak-anak mengalami konflik kognitif atau diskuilibrium dalam memahami dunia. Pada akhirnya, mereka menyelesaikan konflik tersebut dan mencapai keseimbangan atau ekuilibrium pikiran.
Santroks (2011) menyatakan bahwa setiap tahapan Piaget berkaitan dengan usia dan terdiri atas cara pikir yang berbeda-beda. Empat tahapan perkembangan kognitif itu adalah sebagai berikut.
1.                  Tahap Sensorimotor
Tahap Piagettian yang pertama, berlangsung dari kelahiran sampai kurang lebih usia 2 tahun, dimana bayi membentuk pemahaman tentang dunia dengan mengordinasikan pengalaman sensori dengan tindakan motorik.
2.                  Tahap praoperasional
Tahap Piaget yang kedua, berlangsung antar usia 2 sampai 7 tahun; pemikiran simbolik meningkat, tapi pemikiran opersiaonal masih belum ada.
Subtahap yang pertama dari pemikiran praoperasional, yang terjadi antara usia 2 sampai 4 tahun; berkembangnya kemampuan untuk mempresentasikan sebuah objek yang tidak ada dan meningkatnya pemikiran yang simbolik; egosentrisme dan animism muncul.
Subtahap pemikiran intuitif kedua ini berlangsung dari usia sekitar 4 sampai 7 tahun. Anak-anak mulai menggunakan pmikiran primitive dan ingin mengetahui jawaban untuk semua pertanyaan. Mereka tampak sangat yakin dengan pengetahuan mereka dalam subtahap ini, tetapi tidak sadar akan bagaimana mereka mengetahui apa yang mereka ketahui. Sentrasi yaitu pemfokusan, atau pemusatan, perhatian pada satu karakteristik sehingga mengabaikan karakteristik yang lainnya; karakateristik pemikiran praoperasional. Konservasi yaitu ide bahwa beberapa sifat dari satu objek tetap sama meskipun tampilan objek tersebut mungkin berubah; kemampuan kognitif yang berkembang pada tahap operasional konkret, menurut Piaget.
3.      Tahap operasional Konkret
Tahap perkembangan kognitif yang ketiga dari Piaget muncul antara usia sekitar 7 sampai 11 tahun. Pada tahap ini, anak berfikir secara operasional dan pemikiran yang logis menggantikan pemikiran intuitif tetapi hanya pada situasi yang konkret; keterampilan mengklasifikasikan  ada tetapi persoalan abstrak akan menimbulkan kesulitan.
Seriasi, yaitu operasi konkret yang melibatkan pengurutan stimulus berdasarkan dimensi kuantitatif. Transitivitas, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengombinasikan hubungan- hubungan secara logis.
4.      Tahap operasional Formal,
Tahap perkembangan kognitif piaget yang keempat yang muncul antara usia 11-15 tahun; dalam tahap ini pemikiran menjadi lebih abstrak, idilistis dan logis. Pada tahap ini muncul istilah pemikiran deduktif-hipotesis yaitu konsep operasional formal Piaget yang menyatakan bahwa remaja dapat mengembagkan hipotesis untuk memecahkan masalah dan mencapai (menarik) sebuah kesimpulan secara sistematis.
            Teori konstruktivisme yang diungkapkan oleh Piaget ini, memberikan gambaran bahwa proses berfikir anak mengalami perkembangan secara bertahap sesuai usia. Oleh karena itu, penyampaian konsep matematika dalam pembelajaran di sekolah juga bertahap sesuai usianya. Pada jenjang sekolah dasar pembelajaran, yang usia siswanya berkisar anatara 7-11 tahun diharapkan menggunakan pembelajaran yang berkaitan dengan situasi yang konkret. Sedangkan pembelajaran yang langsung membahas persoalan yang abstrak diharapkan mulai diperkenalkan pada sekolah menengah, pada saat siswa berusia 11-15 tahun, dan penerapan lebih lanjutnya pada saaat perguruan tinggi.


B.                 Teori Kontruktivisme Sosial Vygotsky
            Pembahasan selanjutnya mengenai teori Konstruktifisme, mengacu pada teori Vygotsky. Menurut Vygotsky (Santrock, 2011) fungsi-fungsi mental mempunyai hubungan eksternal atau hubungan sosial. Vygotsky menyatakan bahwa anak-anak mengembangkan konsep-konsep yang lebih sistematis, logis dan rasional yang merupakan hasil dari dialog bersama pembimbingnya yang terampil. Jadi dalam teori Vygotsky, orang lain dan bahasa memainkan peran kunci dalam perkembangan kognitif seorang anak. Vygotsky (Dahar, 2006) menyarankan bahwa interaksi sosial itu penting saat siswa menginternalisasi pemahaman-pemahamn yang sulit, maslah-masalah dan proses. Selanjutnya proses internalisasi melibatkan rekonstruksi aktivitas psikologis dengan dasar penggunaan bahasa. Jelas tampak bahwa penggunaan bahasa secara aktif yang didasarkan pemikiran merupakan sarana bagi para siswa untuk menegosiasi kebermaknaan pengalaman-pengalaman mereka.
Selanjutnya, Gunawan (2012) menyatakan bahwa Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup dan  alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua  selama pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota lain dalam kebudayaannya.
Menurut Vygotsky (Gunawan, 2012), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi matang. Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain. Vygotsky mencari pengertian bagaimana anak-anak berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum matang, tetapi masih dalam proses pematangan. Vygotsky membedakan antara aktual development dan potensial development pada anak. Actual development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
Menurut teori Vygotsky, Zone of proximal developmnet merupakan celah antara actual development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya. Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan perkembangan anak. Ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri, perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan perkembangan, siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding merupakan suatu istilah pada proses yang digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui Zone of proximal developmentnya. Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap - tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Konstruktivisme sosial yang diusung oleh Vygotsky ini (Ernest, 2000) beranggapan bahwa pengetahuan yang dibentuk oleh peserta didik, merupakan hasil interaksinya dengan lingkungan sosial disekitarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa: 1) pengetahuan dibina oleh manusia, 2) pembinaan pengetahuan bersifat sosial dan personal, 3) pembina pengetahuan personal adalah perantara soial dan pembina pengetahuan sosial adalah perantara personal, 4) pembinaan pengetahuan sosial merupakan hasil interaksi sosial, dan 5) interaksi sosial dengan yang lain adalah sebagian dari personal, pembinaan sosial, dan pembinaan pengetahuan bawaan.  
           Teori Kontruktivisme Sosial Vygotsky ini memberikan gambaran bahwa anak sebagai siswa dapat membangun atau mengkonstruksi pemahamannnya terhadap sesuatu atau konsep matematika melalui proses interaksi dengan orang lain. Dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator yang memberikan banyak kesempatan bagi anak-anak atau siswa untuk belajar dengan guru dan teman sebaya yang lebih terampil untuk membantu proses pengkonstruksia konsep-konsep matematika yang dipelajari. Dengan teori ini siswa mendapat kesempatan belajar sesuai dengan kemampuannya. Siswa cerdas dapat terfasilitasi, dan siswa dengan kemammpuan kurang diberi kesempatan dengan diberikan  bantuan secara bertahap untuk meningkatkan kemampuannya.

C. Hakikat matematika Sekolah
Teori Konstruktivisme kognitif yang diusung oleh Jean Piaget dan  Teori Konstruktivisme Sosial yang diperkenalkan oleh Vygotsky sejalan dengan definisi matematika sekolah  yang dikemukakan oleh Ebbutt dan Straker (dalam marsigit 2012) :
(1) kegiatan matematika merupakan kegiatan penelusuran pola dan hubungan,
(2) kegiatan matematika memerlukan kreativitas, imajinasi, intuisi dan penemuan
(3) kegiatan dan hasil-hasil matematika perlu dikomunikasikan,
(4) kegiatan problem solving merupakan bagian dari kegiatan matematika,
(5) algoritma merupakan prosedur untuk memperoleh jawaban-jawaban persoalan matematika,
(6) interaksi sosial diperlukan dalam kegiatan matematika.
Bila kita kaitkan Teori Konstruktivisme Kognitif dalam matematika sekolah, maka teori ini dapat tercermin dalam definisi kegiatan matematika merupakan kegiatan penelusuran pola dan hubungan, kegiatan matematika memerlukan kreativitas, imajinasi, intuisi dan penemuan, kegiatan problem solving merupakan bagian dari kegiatan matematika serta algoritma merupakan prosedur untuk memperoleh jawaban-jawaban persoalan matematika, sedangkan Teori Konstruktifime Sosial tercermin dalam definisi kegiatan dan hasil-hasil matematika perlu dikomunikasikan dan interaksi sosial diperlukan dalam kegiatan matematika. Dari penjelasan diatas, Teori Konstruktivisme kognitif yang diusung oleh Jean Piaget dan Teori Konstruktivisme Sosial yang diperkenalkan oleh Vygotsky memiliki ranah yang saling melengkapi dan sesuai dengan hakikat matematika sekolah oleh Ebbutt dan Straker. Jadi, teori konstruktivisme baik kognitif maupun sosial, relevan dan mendukung pencapaian hakikat matematika sekolah.

D.Peran Guru dalam Menggapai Inovasi pembelajaran
Pengetahuan atau pemahaman konsep dalam hal ini matematika bukanlah sesuatu yang langsung diperoleh, namu pengetahuan itu hendaknya dibangun dan dikontruksi dalam proses berpikir yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Sejalan dengan apa yang dikatakan Ernest(2000) bahwa asumsi penting dari konstruktivisme adalah pengetahuan bukanlah sesuatu di luar sana yang akan diperoleh melainkan dibangun oleh peserta didik. Santrock (2011) menyatakan bahwa dalam implikasi pengajaran di sekolah baik bagi Vygotsky dan Piaget memiliki kesimpulan yang sama bahwa dalam pengajaran guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing, bukan seorang pengarah. Menurut Duckworth dalam Dahar (2011) guru aktif menemukan cara-cara untuk memahami konsepsi siswa menyarankan konsepsi alternative, menstimulasi keheranan diantara para siswa, dan mengembangkan tugas-tugas kelas yang mengarah pada konstruksi pengetahuan. Sehubungan dengan hal ini peran guru sangatlah penting dalam memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkontruksi secara mandiri konsep pengetahuan dalam pikirannya, sehingga dalam pembelajaran guru perlu melaksanakan pembelajaran yang Inovatif beracuan teori konstruktivisme.


E.     Contoh Penerapan Teori Konstruktivisme dalam Inovasi Pembelajaran
Banyak inovasi pembelajaran yang dapat diterapkan guru di kelas. Misalnya menerapkan model pembelajaran dengan multimedia interaktif, permainan, teknologi, internet, dan menerapkan pembelajaran dengan pendekatan atau model pembelajaran. Dalam tulisan ini penulis ingin memperkenalkan dua contoh pendekatan dan model pembelajaran yang berlandaskan teori konstruktifisme yaitu Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dan Cooperatif Learning.
1)      Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
De lange ,1996 (dalam Sutarto Hadi, 2005) mengemukakan ajaran-ajaran PMRI :
1.             Titik berangkat urutan pembelajaran harus memberikan pengalaman nyata bagi siswa sehingga mereka dapat terlibat secara langsung secara personal dalam aktivitas matematika.
2.             Untuk menampung pengetahuan matematika yang dimiliki siswa, titik berangakat tersebut juga harus dapat dijelaskan berdasarkan tujuan potensial urutan belajar (learning sequence)
3.             Urutan pembelajaran harus melibatkan kegiatan dimana para siswa membuat dan menguraikan model-model simbolik dari aktivitas matematika informal mereka
Ketiga ajaran di atas efektif apabila direalisasikan dalam pembelajaran interkatif, siswa menjelaskan penyelesaian yang mereka buat, memahami penyelesaian yang dibuat siswa lain, menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuan, mempertanyakan ada atau tidak adanya penyelesaian alternatif, dan melakukan refleksi. Fenomena Riil bentuk-bentuk dan konsep matematik dimanifestasikan dalam keterkaitan (inter wining) berbagai sub pokok bahasan.
Menurut De Lange pula, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut (Hadi, 2005) :
1.              Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna.
2.             Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.
3.             Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terdapat persoalan/ masalah yang diajukan.
4.             Pengajaran berlangsung secara interaktif : siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Paradigma baru pendidikan sekarang ini juga lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Dalam PMRI, siswa dipandang sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya sehingga siswa dapat mengembangkan pengetahuan tersebut apabila diberikan kesempatan untuk mengembangkannya. Dengan demikian, siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Hadi (2005) menyatakan bahwa PMRI mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut :
1.             Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
2.             Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan untuk dirinya sendiri.
3.             Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.
4.             Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman.
5.             Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.
Selain konsepsi tentang siswa, PMRI juga merumuskan peran guru dalam pembelajaran yaitu (Hadi, 2005) :
1.             Guru hanya sebagai fasilitator belajar.
2.             Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif.
3.             Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil.
4.             Guru tidak terpaku pada materi yang terdapat dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil baik fisik maupun sosial.
2)      Pembelajaran Kooperatif
Metode Pembelajaran Kooperatif (Gunawan, 2012) adalah suatu metode pembelajaran yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham sosial. Pembelajaran kooperatif merupakan metode pembelajaran dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Menurut Anita Lie dalam bukunya “Cooperative Learning”, bahwa metode pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan, untuk itu harus diterapkan lima unsur metode pembelajaran kooperatif yaitu :
1. Saling ketergantungan positif.
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka.
2. Tanggung jawab perseorangan.
Pengajar yang efektif dalam metode pembelajaran kooperatif membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.
3. Tatap muka.
Dalam metode pembelajaran kooperatif setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
4. Komunikasi antar anggota.
Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.
5. Evaluasi proses kelompok.
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Tujuan pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 2009).
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2001), yaitu:
1. Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa metode ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit.
2. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain metode pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
3. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga dari metode pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.






























BAB. III KESIMPULAN

1.      Pembelajaran masih berpusat pada guru, sehingga siswa tidak memiliki kesempatan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan dalam pikirannya.
2.      Untuk mewujudkan kemandirian siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya diperlukan pemahaman tentang teori konstruktivisme
3.      Teori konstruktivisme yang diungkapkan oleh Piaget ini, memberikan gambaran bahwa proses berfikir anak mengalami perkembangan secara bertahap sesuai usia.
4.      Teori Kontruktivisme Sosial Vygotsky ini memberikan gambaran bahwa anak sebagai siswa dapat membangun atau mengkonstruksi pemahamannnya terhadap sesuatu atau konsep matematika melalui interaksi dengan orang lain.
  1. Teori Konstruktivisme kognitif yang diusung oleh Jean Piaget dan Teori Konstruktivisme Sosial yang diperkenalkan oleh Vygotsky memiliki ranah yang saling melengkapi dan sesuai dengan hakikat matematika sekolah oleh Ebbutt dan Straker. Jadi, teori konstruktivisme baik kognitif maupun sosial, relevan dan mendukung pencapaian hakikat matematika sekolah.
6.      Peran guru sangatlah penting dalam memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkontruksi secara mandiri konsep pengetahuan dalam pikirannya, sehingga dalam pembelajaran guru perlu melaksanakan pembelajaran yang Inovatif beracuan teori konstruktivisme.
7.      Penerapan pembelajaran dengan menggunakan metode Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dan  model pembelajaran Cooperatif Learning merupakan contoh inovasi pembelajaran yang dapat dilakukan guru di kelas.









DAFTAR PUSTAKA

Dahar, Ratna Wilis. 2011. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Erlangga.

Ernest, Paul. 2000. Reflections on Theories of Learning (dalam Bharat B. Sriraman dan L. English (eds.). Theories of Mathematics Education, Advances in Mathematics Education. Berlin: Springer-Verlag)

Gunawan, Bakti. 2012. Penerapan Teori Belajar Vygotsky dalam Interaksi Belajar Mengajar.

Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik. Tulip Banjarmasin. Banjarmasin
Ibrahim, M., F. Rachmadiarti, M. Nur, dan Ismono. 2001. Pembelajaran Kooperatif. University Press, Surabaya.
Marsigit. 2010. Elegi pemberontakan Pendidikan Matematika 8.
Marsigit. 2010. Elegi pemberontakan Pendidikan Matematika 9.
Marsigit. 2012. Filsafat Ilmu Matematika.
Santrock, W. John. 2011. Psikologi Pendidikan, Educational Psychology.Jakarta : Salemba Humanika.
Slavin, R. E. 2009. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Terjemahan Lita. Nusa Media, Bandung.