BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat
ini matematika masih dianggap beban dan momok yang menakutkan bagi para siswa.
Terlebih lagi, matematika merupakan salah satu mata pelajaran penentu kelulusan
Ujian Nasional, sehingga pembelajaran matematika di sekolah cenderung berorientasi
pada soal-soal Ujian Nasional. Proses belajar dan pembelajaran yang
diselenggarakan oleh guru di sekolah selalu berkutat pada metode konvensional
yang berpusat pada guru. Karena metode ini dianggap metode yang efisien waktu
untuk mengejar target materi yang harus dicapai kurikulum. Definisi-definisi,
rumus-rumus dan konsep-konsep langsung diberikan kepada siswa tanpa memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengkontruksi dan membangun sebuah konsep dalam
pikirannya. Pembelajaran di kelas hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mandiri dengan menemukan dan membangun sendiri konsep matematika dengan
terlibat aktif dalam pembelajaran.
Dalam
Marsigit (2012) membangun pemahaman matematika melalui kemandirian dapat
diartikan sebagai Achitectonic mathematics. Pada saat ini architectonic
mathematics sudah mulai tampak pada perguruan tinggi melalui kegiatan riset
matematika. Lalu, bagaimana menampakkan architectonic mathematics pada proses
belajar matematika di sekolah? Karakter belajar matematika orang dewasa dan
anak-anak berbeda, sehingga untuk mewujudkan hal ini tidaklah mudah. Kita harus
melakukan transformasi fenomena antara belajar matematika bagi orang dewasa di
perguruan tinggi dan belajar matematika
bagi anak-anak di sekolah. Transformasi yang dimaksud adalah Transformasi
Internal dikarenakan Potensi Internal dalam kerangka kemandirian untuk
mengembangkan Wadah atau Dimensinya agar mampu menyadari Ruang dan Waktu
Matematika dan Pendidikan Matematika. Singkat kata maka Self Transformation
dari setiap Subyek atau Pelaku belajar dan mengajar itulah yang diperlukan.
Dengan kata lain, diperlukan keadaan pindah, atau hijrah atau inovasi bagi
siapapun yang ingin mempelajari Matematika, pada segala dimensinya. Bagaimana
mungkin seorang anak kecil melakukan pindah, atau hijrah atau inovasi? Hal
demikian tidak akan dipahami kecuali kita memahami hakekat konstruktifisme.
Dalam
teori konstruktifisme yang dikemukakan oleh Jean piaget, anak belajar secara
bertahap sesuai dengan usianya. Sehingga apabila diaplikasikan dalam
pembelajaran matematika, Guru akan memberikan penanaman konsep matematika
secara bertahap tidak langsung mengarah kepada penjelasan definisi. Untuk itu
guru perlu melakukan inovasi pembelajaran agar dapat memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengkonstruksi secara mandiri konsep matematika yang sedang
dipelajari.
B. Identifikasi Masalah
Pembelajaran
masih berpusat pada guru, sehingga siswa tidak memiliki kesempatan untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dalam pikirannya.
C. Batasan Masalah
1. Pembahasan
dalam makalah ini menjelaskan tentang teori konstruktivisme oleh Jean Piaget
dan Vygotsky serta keterkaitannya dengan hakikat matematika sekolah.
2. Inovasi pembelajaran yang diperkenalkan adalah
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia dan Coopertif Learning.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Teori Konstruktivisme yang dikemukakan oleh Jean Piaget dan Vygotsky?
2. Bagaimana
keterkaitan antara Teori Konstruktivisme yang dikemukakan oleh Jean Piaget dan
Vygotsky dengan inovasi pembelajaran?
3. Bagaimana
contoh penerapan Teori Konstruktivisme dalam inovasi pembelajaran?
BAB II. PEMBAHASAN
A. Teori Kontruktivisme Kognitif
Piaget
Dalam memahami Teori Konstruktifisme,
sangat berkaitan dengan pemikiran tokoh-tokohnya yaitu Jean Piaget dan Vitgotsky.
Menurut Bodner dalam Dahar (2011) tokoh konstrutivisme yang pertama adalah piaget, Melalui perspektif piaget pengetahuan
diperoleh menurut proses konstruksi selama hidup melaui suatu proses
ekualibrasi antara skema pengetahuan dan pengalaman baru. Piaget lebih
memfokuskan pada general logical capabilities. Merupaka konstrutivisme
kognitif. Penelitian-penelitian piaget meliputi konstruksi pengetahuan personal
melaui interaksi individual dengan lingkungan. Marsigit (2012) menjelaskan konsepsi Piaget bahwa perkembangan intelektual anak
berlangsung melalui tahap terdefinisi, bahwa anak-anak mengem
bangkan konsep mereka melalui interaksi dengan
lingkungan, dan untuk sebagian besar tahun utama kebanyakan anak berada dalam
tahap operasi konkrit. Selanjutnya, dia menyatakan bahwa dalam pendidikan
matematika, itu adalah konsekuensi alamiah dari kepercayaan pada teori Piaget
tentang peran sentral dari interaksi dengan benda-benda yang
digunakan ketika mereka
belajar matematika, anak-anak harus diharapkan untuk bekerja praktis, sendiri
dengan alat mereka, dan bekerja konsep-konsep matematika untuk diri mereka
sendiri.
Santroks (2011)
menyatakan bahwa proses kognitif yang terjadi pada anak-anak ketika mereka
membangun pengetahuan mereka tentang dunia meurut Piaget adalah skema, similasi
dan akomodasi, organisasi, serta ekuilibrasi.
Skema menyatakan bahwa ketika anak berusaha membangun pemahaman mengenai
dunia, otak berkembang membentuk skema. Inilah tindakan atau representasi
mental yang mengatur pengetahuan. Selanjutnya Asimilasi terjadi ketika
anak-anak memasukkan informasi baru kedalam skema mereka yang sudah ada
sebelumnya. Lalu Akomodasi terjadi ketika anak-anak menyesuaikan skema mereka agar sesuai dengan informasi dan
pengalkaman baru mereka. Kemudian
Organisasi dalam teori piaget adalah
pengelompokkan prilaku dan pikiran yang terisolasi ke dalam sebuah susunan
system yang lebih tinggi. Perbaikan yang kontinu dari organisasi ini merupakan
suatu sifat dari perkembangan. Ekuilibrasi adalah mekanisme yang diajukan
Piaget untuk menjelaskan bagaimana anak-anak beralih dari satu tingkat
pemikiran ke tingkat yang berikutnya. Peralihan ini terjadi ketika anak-anak
mengalami konflik kognitif atau diskuilibrium dalam memahami dunia. Pada akhirnya,
mereka menyelesaikan konflik tersebut dan mencapai keseimbangan atau
ekuilibrium pikiran.
Santroks (2011)
menyatakan bahwa setiap tahapan Piaget berkaitan dengan usia dan terdiri atas
cara pikir yang berbeda-beda. Empat tahapan perkembangan kognitif itu adalah
sebagai berikut.
1.
Tahap Sensorimotor
Tahap Piagettian
yang pertama, berlangsung dari kelahiran sampai kurang lebih usia 2 tahun,
dimana bayi membentuk pemahaman tentang dunia dengan mengordinasikan pengalaman
sensori dengan tindakan motorik.
2.
Tahap praoperasional
Tahap Piaget yang kedua, berlangsung
antar usia 2 sampai 7 tahun; pemikiran simbolik meningkat, tapi pemikiran
opersiaonal masih belum ada.
Subtahap yang pertama dari pemikiran
praoperasional, yang terjadi antara usia 2 sampai 4 tahun; berkembangnya
kemampuan untuk mempresentasikan sebuah objek yang tidak ada dan meningkatnya
pemikiran yang simbolik; egosentrisme dan animism muncul.
Subtahap pemikiran intuitif kedua ini
berlangsung dari usia sekitar 4 sampai 7 tahun. Anak-anak mulai menggunakan
pmikiran primitive dan ingin mengetahui jawaban untuk semua pertanyaan. Mereka
tampak sangat yakin dengan pengetahuan mereka dalam subtahap ini, tetapi tidak
sadar akan bagaimana mereka mengetahui apa yang mereka ketahui. Sentrasi yaitu
pemfokusan, atau pemusatan, perhatian pada satu karakteristik sehingga
mengabaikan karakteristik yang lainnya; karakateristik pemikiran
praoperasional. Konservasi yaitu ide bahwa beberapa sifat dari satu objek tetap
sama meskipun tampilan objek tersebut mungkin berubah; kemampuan kognitif yang
berkembang pada tahap operasional konkret, menurut Piaget.
3. Tahap
operasional Konkret
Tahap
perkembangan kognitif yang ketiga dari Piaget muncul antara usia sekitar 7
sampai 11 tahun. Pada tahap ini, anak berfikir secara operasional dan pemikiran
yang logis menggantikan pemikiran intuitif tetapi hanya pada situasi yang
konkret; keterampilan mengklasifikasikan
ada tetapi persoalan abstrak akan menimbulkan kesulitan.
Seriasi, yaitu
operasi konkret yang melibatkan pengurutan stimulus berdasarkan dimensi
kuantitatif. Transitivitas, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengombinasikan
hubungan- hubungan secara logis.
4. Tahap
operasional Formal,
Tahap
perkembangan kognitif piaget yang keempat yang muncul antara usia 11-15 tahun;
dalam tahap ini pemikiran menjadi lebih abstrak, idilistis dan logis. Pada
tahap ini muncul istilah pemikiran deduktif-hipotesis yaitu konsep operasional
formal Piaget yang menyatakan bahwa remaja dapat mengembagkan hipotesis untuk
memecahkan masalah dan mencapai (menarik) sebuah kesimpulan secara sistematis.
Teori konstruktivisme yang
diungkapkan oleh Piaget ini, memberikan gambaran bahwa proses berfikir anak
mengalami perkembangan secara bertahap sesuai usia. Oleh karena itu,
penyampaian konsep matematika dalam pembelajaran di sekolah juga bertahap
sesuai usianya. Pada jenjang sekolah dasar pembelajaran, yang usia siswanya
berkisar anatara 7-11 tahun diharapkan menggunakan pembelajaran yang berkaitan
dengan situasi yang konkret. Sedangkan pembelajaran yang langsung membahas
persoalan yang abstrak diharapkan mulai diperkenalkan pada sekolah menengah,
pada saat siswa berusia 11-15 tahun, dan penerapan lebih lanjutnya pada saaat
perguruan tinggi.
B.
Teori
Kontruktivisme Sosial Vygotsky
Pembahasan selanjutnya mengenai teori
Konstruktifisme, mengacu pada teori Vygotsky. Menurut Vygotsky (Santrock, 2011)
fungsi-fungsi mental mempunyai hubungan eksternal atau hubungan sosial.
Vygotsky menyatakan bahwa anak-anak mengembangkan konsep-konsep yang lebih
sistematis, logis dan rasional yang merupakan hasil dari dialog bersama
pembimbingnya yang terampil. Jadi dalam teori Vygotsky, orang lain dan bahasa
memainkan peran kunci dalam perkembangan kognitif seorang anak. Vygotsky (Dahar, 2006) menyarankan bahwa
interaksi sosial itu penting saat siswa menginternalisasi pemahaman-pemahamn
yang sulit, maslah-masalah dan proses. Selanjutnya proses internalisasi
melibatkan rekonstruksi aktivitas psikologis dengan dasar penggunaan bahasa.
Jelas tampak bahwa penggunaan bahasa secara aktif yang didasarkan pemikiran
merupakan sarana bagi para siswa untuk menegosiasi kebermaknaan
pengalaman-pengalaman mereka.
Selanjutnya, Gunawan (2012)
menyatakan bahwa Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia
sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan
budaya. Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti
ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan
temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat
ingatan. Ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan
bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.
Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam
memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan
fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar
dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental
yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah.
Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan”
tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat
itu diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih
tua selama pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang
lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin
anak tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama
dengan anggota lain dalam kebudayaannya.
Menurut Vygotsky (Gunawan, 2012),
keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui
interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat,
keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif
dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian
pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu latar
belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi matang. Meskipun
pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui
pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang
jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan
pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain. Vygotsky mencari
pengertian bagaimana anak-anak berkembang dengan melalui proses belajar, dimana
fungsi-fungsi kognitif belum matang, tetapi masih dalam proses pematangan. Vygotsky membedakan antara aktual
development dan potensial development pada anak. Actual development ditentukan
apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau
guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat
melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau
kerjasama dengan teman sebaya.
Menurut teori Vygotsky, Zone of
proximal developmnet merupakan celah antara actual development dan potensial
development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa
bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan
arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya. Maksud dari ZPD adalah
menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan perkembangan
anak. Ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri, perkembangan
mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan perkembangan,
siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat memimpin
secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Teori Vygotsky
yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding merupakan suatu istilah pada
proses yang digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui Zone of
proximal developmentnya. Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang
anak sejumlah besar bantuan selama tahap - tahap awal pembelajaran dan kemudian
mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu
mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk,
peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan
siswa dapat mandiri.
Konstruktivisme
sosial yang diusung oleh Vygotsky ini (Ernest, 2000) beranggapan bahwa
pengetahuan yang dibentuk oleh peserta didik, merupakan hasil interaksinya
dengan lingkungan sosial disekitarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa:
1) pengetahuan dibina oleh manusia, 2) pembinaan pengetahuan bersifat sosial
dan personal, 3) pembina pengetahuan personal adalah perantara soial dan
pembina pengetahuan sosial adalah perantara personal, 4) pembinaan pengetahuan
sosial merupakan hasil interaksi sosial, dan 5) interaksi sosial dengan yang
lain adalah sebagian dari personal, pembinaan sosial, dan pembinaan pengetahuan
bawaan.
Teori Kontruktivisme Sosial Vygotsky
ini memberikan gambaran bahwa anak sebagai siswa dapat membangun atau
mengkonstruksi pemahamannnya terhadap sesuatu atau konsep matematika melalui
proses interaksi dengan orang lain. Dalam hal ini guru berperan sebagai
fasilitator yang memberikan banyak kesempatan bagi anak-anak atau siswa untuk
belajar dengan guru dan teman sebaya yang lebih terampil untuk membantu proses
pengkonstruksia konsep-konsep matematika yang dipelajari. Dengan teori ini
siswa mendapat kesempatan belajar sesuai dengan kemampuannya. Siswa cerdas
dapat terfasilitasi, dan siswa dengan kemammpuan kurang diberi kesempatan
dengan diberikan bantuan secara bertahap
untuk meningkatkan kemampuannya.
C.
Hakikat matematika Sekolah
Teori Konstruktivisme
kognitif yang diusung oleh Jean Piaget dan
Teori Konstruktivisme Sosial yang diperkenalkan oleh Vygotsky sejalan
dengan definisi matematika sekolah yang
dikemukakan oleh Ebbutt dan Straker (dalam marsigit 2012) :
(1) kegiatan matematika merupakan
kegiatan penelusuran pola dan hubungan,
(2) kegiatan matematika memerlukan kreativitas, imajinasi, intuisi dan penemuan
(3) kegiatan dan hasil-hasil matematika
perlu dikomunikasikan,
(4) kegiatan problem solving merupakan
bagian dari kegiatan matematika,
(5) algoritma merupakan prosedur untuk
memperoleh jawaban-jawaban persoalan matematika,
(6) interaksi sosial diperlukan dalam kegiatan matematika.
Bila kita kaitkan Teori
Konstruktivisme Kognitif dalam matematika sekolah, maka teori ini dapat
tercermin dalam definisi kegiatan matematika merupakan kegiatan penelusuran
pola dan hubungan, kegiatan matematika memerlukan kreativitas, imajinasi,
intuisi dan penemuan, kegiatan problem solving merupakan bagian dari kegiatan
matematika serta algoritma merupakan prosedur untuk memperoleh jawaban-jawaban
persoalan matematika, sedangkan Teori Konstruktifime Sosial tercermin dalam
definisi kegiatan dan hasil-hasil matematika perlu dikomunikasikan dan
interaksi sosial diperlukan dalam kegiatan matematika. Dari penjelasan diatas,
Teori Konstruktivisme kognitif yang diusung oleh Jean Piaget dan Teori
Konstruktivisme Sosial yang diperkenalkan oleh Vygotsky memiliki ranah yang
saling melengkapi dan sesuai dengan hakikat matematika sekolah oleh Ebbutt dan
Straker. Jadi, teori konstruktivisme baik kognitif maupun sosial, relevan dan
mendukung pencapaian hakikat matematika sekolah.
D.Peran
Guru dalam Menggapai Inovasi pembelajaran
Pengetahuan atau
pemahaman konsep dalam hal ini matematika bukanlah sesuatu yang langsung
diperoleh, namu pengetahuan itu hendaknya dibangun dan dikontruksi dalam proses
berpikir yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Sejalan dengan apa yang
dikatakan Ernest(2000) bahwa asumsi penting dari konstruktivisme adalah pengetahuan
bukanlah sesuatu di luar sana yang akan diperoleh melainkan dibangun oleh
peserta didik. Santrock (2011) menyatakan bahwa dalam implikasi pengajaran di
sekolah baik bagi Vygotsky dan Piaget memiliki kesimpulan yang sama bahwa dalam
pengajaran guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing, bukan seorang
pengarah. Menurut Duckworth dalam Dahar (2011) guru aktif menemukan cara-cara
untuk memahami konsepsi siswa menyarankan konsepsi alternative, menstimulasi
keheranan diantara para siswa, dan mengembangkan tugas-tugas kelas yang
mengarah pada konstruksi pengetahuan. Sehubungan dengan hal ini peran guru
sangatlah penting dalam memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkontruksi
secara mandiri konsep pengetahuan dalam pikirannya, sehingga dalam pembelajaran
guru perlu melaksanakan pembelajaran yang Inovatif beracuan teori
konstruktivisme.
E.
Contoh
Penerapan Teori Konstruktivisme dalam Inovasi Pembelajaran
Banyak
inovasi pembelajaran yang dapat diterapkan guru di kelas. Misalnya menerapkan
model pembelajaran dengan multimedia interaktif, permainan, teknologi,
internet, dan menerapkan pembelajaran dengan pendekatan atau model
pembelajaran. Dalam tulisan ini penulis ingin memperkenalkan dua contoh
pendekatan dan model pembelajaran yang berlandaskan teori konstruktifisme yaitu
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dan Cooperatif Learning.
1) Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia
De lange ,1996 (dalam Sutarto Hadi,
2005) mengemukakan ajaran-ajaran PMRI :
1.
Titik berangkat urutan pembelajaran harus memberikan
pengalaman nyata bagi siswa sehingga mereka dapat terlibat secara langsung
secara personal dalam aktivitas matematika.
2.
Untuk menampung pengetahuan matematika yang dimiliki
siswa, titik berangakat tersebut juga harus dapat dijelaskan berdasarkan tujuan
potensial urutan belajar (learning sequence)
3.
Urutan pembelajaran harus melibatkan kegiatan dimana
para siswa membuat dan menguraikan model-model simbolik dari aktivitas
matematika informal mereka
Ketiga ajaran di
atas efektif apabila direalisasikan dalam pembelajaran interkatif, siswa
menjelaskan penyelesaian yang mereka buat, memahami penyelesaian yang dibuat
siswa lain, menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuan, mempertanyakan ada
atau tidak adanya penyelesaian alternatif, dan melakukan refleksi. Fenomena
Riil bentuk-bentuk dan konsep matematik dimanifestasikan dalam keterkaitan (inter wining) berbagai sub pokok
bahasan.
Menurut
De Lange pula, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi
aspek-aspek berikut (Hadi, 2005) :
1.
Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah
(soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat
pengetahuannya sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara
bermakna.
2.
Permasalahan yang diberikan tentu harus
diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.
3.
Siswa mengembangkan atau menciptakan
model-model simbolik secara informal terdapat persoalan/ masalah yang diajukan.
4.
Pengajaran berlangsung secara interaktif
: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya,
memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan
ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain dan melakukan
refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Paradigma
baru pendidikan
sekarang ini juga lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang
memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Dalam PMRI, siswa dipandang
sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil
interaksi dengan lingkungannya sehingga siswa dapat mengembangkan pengetahuan
tersebut apabila diberikan kesempatan untuk mengembangkannya. Dengan demikian,
siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Hadi (2005)
menyatakan bahwa PMRI mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut :
1.
Siswa memiliki seperangkat konsep
alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
2.
Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan
membentuk pengetahuan untuk dirinya sendiri.
3.
Pembentukan pengetahuan merupakan proses
perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan
kembali dan penolakan.
4.
Pengetahuan baru yang dibangun oleh
siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman.
5.
Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya
dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.
Selain
konsepsi tentang siswa, PMRI juga merumuskan peran guru dalam pembelajaran
yaitu (Hadi, 2005) :
1.
Guru hanya sebagai fasilitator belajar.
2.
Guru harus mampu membangun pengajaran
yang interaktif.
3.
Guru harus memberikan kesempatan kepada
siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara
aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil.
4.
Guru tidak terpaku pada materi yang
terdapat dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia
riil baik fisik maupun sosial.
2)
Pembelajaran Kooperatif
Metode Pembelajaran
Kooperatif (Gunawan, 2012) adalah suatu metode pembelajaran yang menekankan
pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama
dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua
orang atau lebih. Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran
yang berdasarkan faham sosial. Pembelajaran kooperatif merupakan metode
pembelajaran dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat
kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa
anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami
materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum
selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Menurut Anita Lie dalam
bukunya “Cooperative Learning”, bahwa metode pembelajaran kooperatif tidak sama
dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang
membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan, untuk itu
harus diterapkan lima unsur metode pembelajaran kooperatif yaitu :
1. Saling
ketergantungan positif.
Keberhasilan
suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan
kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa
sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang
lain dapat mencapai tujuan mereka.
2. Tanggung
jawab perseorangan.
Pengajar
yang efektif dalam metode pembelajaran kooperatif membuat persiapan dan
menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus
melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok
bisa dilaksanakan.
3. Tatap
muka.
Dalam
metode pembelajaran kooperatif setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk
bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para
pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari
sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi
kekurangan.
4. Komunikasi
antar anggota.
Unsur
ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan
berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada
kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk
mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga
merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat
bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan
perkembangan mental dan emosional para siswa.
5. Evaluasi
proses kelompok.
Pengajar
perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja
kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan
lebih efektif.
Tujuan pembelajaran
kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan
atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 2009).
Model pembelajaran
kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan
pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2001), yaitu:
1. Hasil
belajar akademik
Dalam
belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki
prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli
berpendapat bahwa metode ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep
sulit.
2. Penerimaan
terhadap perbedaan individu
Tujuan
lain metode pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari
orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan
ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari
berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada
tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling
menghargai satu sama lain.
3. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan
penting ketiga dari metode pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada
siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan
sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih
kurang dalam keterampilan sosial.
BAB. III KESIMPULAN
1. Pembelajaran
masih berpusat pada guru, sehingga siswa tidak memiliki kesempatan untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dalam pikirannya.
2. Untuk
mewujudkan kemandirian siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya diperlukan
pemahaman tentang teori konstruktivisme
3. Teori
konstruktivisme yang diungkapkan oleh Piaget ini, memberikan gambaran bahwa
proses berfikir anak mengalami perkembangan secara bertahap sesuai usia.
4. Teori
Kontruktivisme Sosial Vygotsky ini memberikan gambaran bahwa anak sebagai siswa
dapat membangun atau mengkonstruksi pemahamannnya terhadap sesuatu atau konsep
matematika melalui interaksi dengan orang lain.
- Teori
Konstruktivisme kognitif yang diusung oleh Jean Piaget dan Teori
Konstruktivisme Sosial yang diperkenalkan oleh Vygotsky memiliki ranah
yang saling melengkapi dan sesuai dengan hakikat matematika sekolah oleh
Ebbutt dan Straker. Jadi, teori konstruktivisme baik kognitif maupun
sosial, relevan dan mendukung pencapaian hakikat matematika sekolah.
6. Peran
guru sangatlah penting dalam memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengkontruksi secara mandiri konsep pengetahuan dalam pikirannya, sehingga
dalam pembelajaran guru perlu melaksanakan pembelajaran yang Inovatif beracuan
teori konstruktivisme.
7. Penerapan
pembelajaran dengan menggunakan metode Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia dan model pembelajaran Cooperatif Learning merupakan contoh
inovasi pembelajaran yang dapat dilakukan guru di kelas.
DAFTAR
PUSTAKA
Dahar, Ratna Wilis. 2011. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta :
Erlangga.
Ernest, Paul. 2000. Reflections on Theories of Learning (dalam Bharat B. Sriraman dan
L. English (eds.). Theories of Mathematics Education, Advances in Mathematics
Education. Berlin: Springer-Verlag)
Gunawan, Bakti. 2012. Penerapan Teori Belajar Vygotsky dalam Interaksi
Belajar Mengajar.
Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik. Tulip
Banjarmasin. Banjarmasin
Ibrahim, M., F. Rachmadiarti, M. Nur, dan Ismono.
2001. Pembelajaran Kooperatif. University Press, Surabaya.
Marsigit. 2010. Elegi pemberontakan
Pendidikan Matematika 8.
Marsigit. 2010. Elegi pemberontakan
Pendidikan Matematika 9.
Marsigit. 2012. Filsafat Ilmu
Matematika.
Santrock, W. John. 2011. Psikologi Pendidikan, Educational
Psychology.Jakarta : Salemba Humanika.
Slavin, R. E. 2009. Cooperative Learning Teori,
Riset dan Praktik. Terjemahan Lita. Nusa Media, Bandung.