Dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan
rintangan ini, kita memerlukan suatu skema yang disebut dengan adab atau tata cara
hidup. Sehingga dapat diartikan bahwa, filsafat itu adalah adab itu sendiri.
Dalam prakteknya, diharapkan filsafat dapat membuat orang semakin meningkatkan tingkat
spritualitas atau ibadahnya kepada Tuhan, bukan membuat seseorang tidak
mengakui adanya Tuhan dan semakin jauh dari agama. Pada kenyataannya, orang
yang sangat mahir berfilsafat, belum tentu akan semakin relegius. Contohnya, pernah
terjadi ada seseorang yang sangat ahli dalam berfilsafat mengakui, ia tidak menyembah
Tuhan, karena merasa tidak mengerti. Padahal, harus kita ketahui bahwa hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan,
tentu tak bisa kita pikirkan dengan logika semata, melainkan sesuatu yang harus
kita yakini adanya. Oleh karena itu, sebelum berfilsafat dan mempelajarinya
lebih jauh, hendaknya kita meluruskan niat meyakini bahwa Tuhan pasti ada
dengan menanamkan keyakinan itu di dalam hati karena pikiran kita tidak mampu
untuk menjelaskannya. Tidak mungkin kita memahami ranah spiritual hanya dengan
pikiran saja, penjelasannya dapat kita analogikan sebagai berikut. Apa yang
kita tuliskan tentu lebih sedikit dari apa yang kita katakan, kata-kata kita
tentu lebih sedikit daripada apa yang ada di pikiran kita, apa yang ada di
dalam pikiran kita tentu lebih sedikit daripada apa yang ada di perasaan kita.
Artinya tak semua yang kita rasakan dapat kita pikirkan atau sebaliknya pikiran
kita tidak mampu memikirkan semua perasaan kita. Berarti bisa saja kita
merasakan sesuatu dalam hati kita meskipun otak kita tak mampu mikirkannya. Di hati
itulah letaknya ranah spiritualitas. Ranah spritualitas tidak mungkin hanya
dapat dipahami dengan pikiran, tapi juga dengan perasaan hati kita. Dari
perasaan inilah, timbul sebuah keyakinan yang pikiran kita tak mampu untuk
menjangkaunya.
Filsafat dapat didasarkan atas pengalaman,
setengah bagian didasarkan atas pengalaman dan setengah bagian lagi didasarkan
atas logika. Dengan mengembangkan daya fikir berdasarkan logika dan pengalaman,
kita dapat memikirkan sesuatu yang sepertinya tidak mungkin, sehingga menjadi
mungkin terjadi.
Manfaat
filsafat sejalan dengan pola pikir kita. Karena filsafat adalah bagian dari
pola fikir kita. Filsafat tak hanya berfikir tapi berfikir yang bersifat reflektif,
sifat filsafat reflektif itu yaitu bersifat ekstensif (sedalam-dalamnya) dan
bersifat intensif (seluas-seluasnya). Maksudnya ketika kita berfilsafat, maka
kita memikirkan sesuatu dengan merefleksikannya secara dalam dan luas, tidak
hanya sebagian-sebagian saja. Alat yang digunakan dalam berfilsafat adalah
bahasa analog. Ketika kita tak mampu memikirkan secara langsung tentang
sesuatu, misalnya hal-hal yang berkaitan dengan ranah spiritual tadi, maka kita
dapat menganalogikannya terlebih dahulu, agar pikiran kita dapat menerimanya. Bahasa
analog dapat dipahami sebagai bahasa kiasan yang memiliki makna mendalam. Selanjutnya,
objek filsafat secara umum adalah segala yang ada dan mungkin ada. Sedangkan, objek
filsafat matematika adalah segala yang ada dan mungkin ada dalam matematika.
Sesuatu yang mungkin ada disini maksudnya adalah sesuatu yang akan kita
ketahui, tapi masih belum jelas. Setelah kita mengetahui hal itu dengan jelas,
maka sesuatu itu menjadi ada bagi kita. Penjelasan seperti itu, hanya berlaku
untuk filsafat secara umum. Dalam ranah
spiritual, Tuhan sudah pasti ada dalam hati kita, meskipun pikiran kita tak
mampu menjelaskannya.
Filsafat dapat diartikan pula sebagai
pemikiran para filsuf. Sehingga dalam mempelajri filsafat, kita harus membaca tulisan-tulisan
dan memahami cara berfikir filsuf yang telah lalu agar dapat mengambil hikmah
dari pemikiran mereka. Filsafat akan terus ada dan berkembang, selama masih ada
manusia. Metode filsafat adalah terjemah dan
menerjemahkan yang disebut dengan hermeunitika. Ketika kita berfilsafat, maka
kita sedang mengontruksi atau membangun pikiran kita, persepsi orang dalam berfilsafat mungkin saja berbeda
tergantung pola fikir dan bahan bacaan yang menjadi sumber insfirasinya. Sehingga,dalam
filsafat bukan jawaban yang kita cari, tapi alasannya, apakah alasan tersebut
dapat menjelaskan apa yang sedang dipertanyakan karena filsafat dapat diartikan
pula sebagai penjelasan. Dalam berfilsafat sering terjadi kontradiktif dalam
pikiran kita, maka hal itu bagus karena hal yang berlawanan dapat memicu
munculnya calon dari ilmu pengetahuan baru. Namun, jangan sampai terjadi
kontradiktif dalam hati yang mengakibatkan pertentangan dalam ranah spiritual. Bila
itu terjadi, segeralah memohon ampun kepada Allah. Kita dapat meningkatkan kemampuan berfilsafat
dengan terus menerus membaca dan mempelajari apa saja yang dapat memperkaya
wawasan dan pengetahuan kita. Berfilsafat mulai dari hal-hal yang kecil, tidak
perlu menunggu sesuatu yang besar terjadi dan dapat kita lakukan meskipun hanya
seorang diri. Proses belajar dan menerapkan filsafat dalam pembelajaran matematika
dapat direfleksikan atau dianalogikan dengan pertumbuhan pohon dari biji,
menjadi pohon yang terus bertambah
besar, berbunga dan berbuah secara bertahap dan alami dan ketika telah berbuah
berarti kita telah mampu menerapkannya.
Refleksi Mata Kuliah Filsafat 3
september 2012
Rahmatya Nurmeidina
12709251038 PM-A 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar